HUMANISASI PENDIDIKAN
DI ERA ROBOTIK
(Kajian Dilalâh
"Insan" dan "Basyar" dan Quo vadis Pendidikan
Modern)
Eman Sulaeman *
ABSTRAK
Persoalan "manusia",
merupakan suatu diskursus yang tidak
pernah berhenti dari jaman klasik sampai zaman robotic (dibaca: modern).
Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dan misterius. Berbagai kajian
tentang manusia mulai dari hakikat sampai manfaat, mulai fisik sampai psikis, seakan
tak pernah berujung. Tanpa terkecuali hubungan manusia dengan pendidikan.
Dewasa ini, perkembangan
teknologi telah memebrikan pengaruh besar terhadap modernisasi pendidikan. Robotisasi
pendidikan telah banyak dirasakan manfaatnya dalam media pembelajaran. Robotisai
media pembelajaran telah mengantarkan kemudahan bagi para pendidik (guru)
sekalipun latensinya telah memenjarakan daya
kreasi dan inovasi. Robotisasi telah berhasil mencetak manusia-manusia yang
statis, yang bisa bergerak dan berubah sesuai intruksi yang sudah ditanam
sebelumnya, bukan mengikuti perkembangan dan tuntutan yang berkembang. Pada
akhirnya, pendidikan robotik (dibaca: modern) merupakan dehumanisasi, yang
membawa manusia semakin jauh dari fitrahnya sebagai "insan" dan "basyar".
Peserta didik tidak lagi diberikan ruang gerak untuk menggali dan mengembangkan
potensinya, belum lagi dari sisi informasi, pendidikan yang hanya berkutat masalah dan materi yang sama, berputar dan
berulang tidak merespon peluang dan tantangan kehidupan yang sangat dinamis
(bahkan progressive). Pada akhirnya pendidikan tidak lagi mampu memproduksi
manusia-manusia yang kreatif, inovatif dan memiliki tanggung jawab, melainkan
sekedar proses pembelajaran yang hanya mendaur ulang.
Wacana pendidiakan
yang humanis tidak sekedar dibangun diatas tuntutan pragmatis, tapi juga perlu
didukung oleh dasar-dasar pemikiran yang fundamental. Salah satu pemikiran yang
fundamental tersebut adalah tentang kajian hakikat manusia sebagai "insan"
dan "basyar" yang tertuang di dalam teks Alquran.
Sekalipun
demikian, pemahaman terhadap makna "insan" dan "basyar"
tidak hanya berujung pada kekaguman atas dialektika Alquran, tapi harus ditranformasikan
dalam etika dan estetika kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Kata Kunci:
Humanisasi,
Insan, Basyar, Dilalah, Semantik, Robotik
* Penulis merupakan salah
satu dosen di STAI Bunga Bangsa Cirebon sekaligus pengasuh Lembaga Bismi
Fattaqun / Pusat Pengembangan Ilmu Quran (PPIQ) Bandung.
A.
Manusia
dalam Alquran
A
|
lquran cukup gamlang mendiskusikan persoalan manusia. Sehingga dalam
Alquran dapat kita temukan ragam term yang merujuk kepada manusia, seperti "al-basyar”,
"al-insan" " bani âdam”,
“al-ins”, “an-nas”, “an-nafs”, “al-anfus”, dan “an-nufûs”. Term-term
tersebut memiliki dilâlah[1]
yang berbeda. Perbedaan itu dilihat dari konteks ayat yang menggunakan
istilah-istilah tersebut. Perbedaan istilah sendiri merupakan suatu
keistimewaan, bukan menunjukan adanya inkonsisntensi atau kontradiksi bahasa Alquran. Diskursus
menarik dari term-term di atas, yang ada kaitanya dengan pendidikan humanis
adalah terkandung dalam kata "al-basyar" dan "Al-insan".
Pertama, kata
“al-basyar’ . kata "basyar" digunakan dalam al-Qur’an
sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.[2]
Secara bahasa "basyar"
berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya
rambut. Abi Al-Husain Ibn paris ibn Zakaria dalam ‘Mu’jam AL-Muqyis fi
AL-Lughoh ‘, memaparkan, semua yang huruf-hurufnya terdiri dari ba, syin,
dan ra, berarti sesuatu yang tampak jelas dan biasanya indah dan cantik.
sejalan dengan itu, Al-Raghib Al-Asfahani dalam kitabnya ‘Mu’jam Al-Mufrodat fi
Al-Quran’, menyatakan bahwa penggunaan: kata "al-Basyar" untuk menjelaskan manusia karena kulit
manusia tampak dengan jelas. Hal yang sama juga dikemukakan Qurais Shihab dalam
bukunya ‘Wawasan Alquran [3],
manusuia disebut dengan “al-basyar’
karna kulitnya tampak dengan jelas sehingga, berbeda dengan kulit binatang yang
di tutupi bulu-bulu. Secara lebih luas, Ibn manar menguraikan kata al-basyar
dipakai untuk menyebut manusia, baik laki –laki maupun perempuan’ baik satu
maupun banyak. Alquran menggunakan kata ”al-basyar” untuk menjelaskan sifat-sifat
manusia secara biologis memiliki persamaan antara umat manusia.
Ada makna yang
lebih menarik dari kata "al-basyar" yang dapat direfleksikan dengan
humanisasi pendidikan yaitu pendapat yang dilontarkan Abu Hilal Al-'askariy,
dalam bukunya Alfurûq fi al-lughah, beliau menyajikan pengertian yang
agak berbeda bahwa yang dimaksud dengan "al-basyar" itu diambil dari
kata "basyaroh" yang artinya bagian kulit muka yang selalu
berubah-ubah ketika ada yang mempengaruhinya. Misalnya jika dihadapkan dengan
kebahagiaan maka kulit muka itu akan kelihatan bercahaya. Jika ada rasa sedih,
maka kulit muka itu akan kelihatan
redup, demikian juga ketika ada rasa marah maka kulit muka itu akan berubah
menjadi merah. Benang merahnya adalah kulit muka itu menyimbolkan responsi
terhadap stimulus yang datang pada dirinya. Dari pengertian ini memberikan
pemahaman bahwa manusia sebagai "basyar" bisa dibentuk dan
dikondisikan tergantung perubahan apa yang kita kehendaki.
Kedua,
kata ”alinsan”.Kata Insan yang berasal dari kata al-Uns
dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali dan tersebar dalam 43 surat.[4]
Insan dapat diartikan secara etimologis adalah harmonis, lemah lembut, tampak
atau pelupa.[5]
Kata insan
digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan raganya.[6]
Kata ini dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali. Di antaranya terdapat
dalam surat an-Nisa’ ayat 28.[7]
Kata "al-insan"
juga menurut Ibn Manar mempunyai asal
tiga kata, yaitu dari kata ‘an-nas’ yang berarti melihat (absara), mengetahui
(‘alima), dan meminta idzin (”ista’dzin); dari kata ‘nasia’
yang berarti lupa; dari kata ‘an-naus’ yang berarti dinamis, bergerak
dan harmonis. Berbeda dari cara Ibnu manar yang berusaha menguraikan makna yang
pokok menunjukan yang spesipik, ibnu zakaria mencari makna yang umum dari
berbagai makna yang sefesifik. Menurutnya semua kata yang asalnya terdiri dari
huruf-huruf, nun, dan ain mempunyai makna dinamis, bergerak, jinak,
harmonis dan tanpak dengan jelas.
Sebenarnya dari
kedua uraian tersebut memiliki inti yang sama. Manusia yang diistilahkan dengan
"al-insan" dilihat dari kata ‘anasa’ tampak
dirinya mempunyai ciri khas jinak,
tampak jelas kulitnya juga potensi untuk memelihara atau melanggar aturan. Selanjutnya
dapat dijelaskan, ‘al-insnan’ dilihat dari kata ‘anasa’ yang berarti melihat,
mengetahui dan meminta izin, maka ia memiliki sifat-sifat potensial dan aktual
untuk berpikir dan benar. Dengan berfikir, manusia dapat mengetahui yang benar
dan salah, yang baik dan buruk, serta menjauhi yang salah dan buruk, pada
giliranya, ia akan menampilkan sikap meminta izin kepada orang lain untuk
mempergunakan sesuatu yang bukan hakny dan miliknya. Sedangkan ‘al-insan’ dari
sudut asal kata ‘nasia’ yang
berarti lupa, menunjukan manusia
mempunyai potensi untuk lupa. "Al-insan" dari sudut kata ‘an-nas’
atau ‘anasa’ yang berarti jinak, maka manusia adalah mahluk yang jinak,
ramah, serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Subtansi dari kata
"al-insan" sesungguhnya menunjukan bahwa manusia memiliki
potensi besar untuk beradaptasi dan berubah mengikuti dan menyesuaikan dengan
problem dan tuntutan kehidupan yang dihadapinya.
Hakikat Manusia
Dan Pendidikan
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan
bermaksud membantu peserta didik untuk
menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan
merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.
Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan
benar dan tepat tujuan, jika pendidik
memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Pemahaman
pendidik terhadap sikap hakikat manusia akan membentuk peta tentang
karateristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberi acuan bagi
pendidik dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik, serta memilih
pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi didalam
interaksi edukatif.
Gambaran yang benar dan jelas tentang manusia
itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya pengembangan sains dan
teknologi yang pesat. Oleh karena itu, adalah sangat strategis jika pembahasan
tentang hakikat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian
tentang pendidikan.[8]
Hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri
karateristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan
manusia dari hewan. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan
pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan.
Wujud sifat hakikat manusia dengan maksud menjadi masukan dalam membanahi
konsep pendidikan, yaitu:[9]
a)
Kemampuan menyadari diri
b)
Kemampuan bereksistensi
c)
Pemilikan kata hati
d)
Moral
e)
Kemampuan bertanggung jawab
f)
Rasa kebebasan
g)
Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari
hak
h)
Kemampuan menghayati kebahagiaan.
Hakikat pendidikan mencakup kegiatan mendidik,
mengajar, dan melatih. Kegiatan tersebut kita laksanakan sebagai suatu usaha
untuk mentransformasikan nilai-nilai. Maka dalam pelaksanaanya, kegiatan tadi harus berjalan secara serempak
dan terpadu, berkelanjutan, serta serasi dengan perkembangan anak didik serta
lingkungan hidupnya dan berlangsung seumur hidup.[10]
Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu
segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan manusia. Mulai dari
perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan,
sosial, sampai pada perkembangan iman, semuanya ditangani oleh pendidik.
Berarti pendidikan bermaksud membuat manusia lebih sempurna, membuat manusia
meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiyah menjadi berbudaya. Mendidik
adalah membudayakan manusia.[11]
B.
Hubungan Hakikat Manusia Dan Pendidikan
1.
Dalil-dalil Manusia perlu Pendidikan
Setidaknya, ada 3 dalil
/ alas an mengapa manusia membutuhkan pendidikan: Pertama, manusia
sebagai makhluk yang belum selesai, artinya manusia harus merencanakan,
berbuat, dan menjadi. Dengan demikian setiap saat manusia dapat menjadi lebih
atau kurang dari keadaanya. Contoh manusia belum selesai: manusia lahir dalam
keadaaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain
dan selain itu manusia harus mengejar masa depan untuk mencapai tujuannya.
Kedua, tugas dan tujuan manusia adalah menjadi manusia, yaitu aspek potensi
untuk menjadi apa dan siapa, merupakan tugas yang harus diwujudkan oleh setiap
orang. Ketiga, perkembangan manusia bersifat terbuka, yaitu manusia
mungkin berkembang sesuai dengan kodratnya dan martabat kemanusiaanya,
sebaliknya mungkin pula berkembang ke arah yang kurang sesuai. Contoh: manusia
memiliki kesempatan memperoleh kepandaian, sehat jasmani rohani, tata krama
yang baik, tujuan hidupnya.
2. Dalil-dalail
Manusia Mungkin Dididik dan Dilatih
Ada lima asas
antropologi yang mendasari kesimpulan bahwa manusia sangat mungkin dididik atau
dapat dididik. Pertama azas Potensial, yaitu manusia akan dapat didik
karena memiliki potensi untuk dapat menjadi manusia. Kedua azas
Dinamika, yaitu manusia selalu menginginkan dan mengejar segala yang lebih dari
apa yang telah dicapainya. Ketiga Azas Individualitas, yaitu manusia
sebagai mahluk individu tidak akan pasif, melainkan bebas dan aktif berupaya
untuk mewujudkan dirinya. Keempat Azas Sosialitas, yaitu manusia butuh
bergaul dengan orang lain. Kelima yaitu azas Moralitas, yaitu manusia
memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak .
C.
Konsep Dasar Pendidikan
Ada beberapa konsepsi dasar pendidikan yang
akan dilaksanakan yaitu:
1.
Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup.
2.
Bahwa bertanggung jawab pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
3.
Pendidikan merupakan suatu keharusan, karena
dengan pendidikan manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang
berkembang.[12]
D.
Sifat-sifat Ilmu Pendidikan
1)
Ilmu Pendidikan Bersifat Deskriptif-Normatif
Ilmu pendidikan itu selalu berhubungan dengan
soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan tentang siapakah manusia biasanya
termasuk dalam bidang filsafat, yaitu bersifat antropologi. Pandangan filsafat
tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik
pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang
dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bangsa yang melaksanakan
pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi itu dijadikan norma
untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingi dicapai melalui praktik
pendidikan. Nilai-nilai ini tidak diperoleh hanya dari paktik dan pengalaman
mendidik, tetapi secara normatif bersumber dari norma masyarakat, norma
filsafat, dan pandangan hidup, bahkan juga dari keyakinan keagamaan yang dianut
oleh seseorang.
2)
Ilmu Pendidikan Bersifat Teoritis dan
Praktis-Pragmatis
Pada umumnya ilmu mendidik tidak hanya mencari
pengetahuan deskriptif tentang objek pendidikan, melainkan ingin juga
mengetahui bagaimana cara sebaiknya untuk berfaedahterhadap objek didiknya.[13]
E.
Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia yaitu:
1. Hubungan dengan
Tuhan Ialah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembentukan
pribadi mencakup budi pekerti yang luhur, berkepribadian, mandiri, maju,
tanggug, cerdas, dan kreatif.
3. Bidang usaha
mencakup keterampilan, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif.
4. Kesehatan yang
mencakup kesehatan jasmani dan rohani.
Keempat
kelompok ini sudah mencakup keseluruhan perkembangan dan pertumbuhan yang harus
dilakukan oleh setiap manusia. Setiap orang normal membutuhkan pembentukan
diri, baik dari segi kepribadian, kesehatan, maupun kemampuan mempertahankan
hidup dan tanggung jawabnya kepada Tuhan Ynag Maha Esa sebagai pencipta.
Pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang baik,
manusia-manusia yang lebih berbudaya, manusia yang memiliki kepribadian yang
baik.[14][9]
F.
Quo
vadis Pendidikan Moderen / Era Robotik
Secara
konseftual, pendidikan di Indonesia memang telah memiliki arah gerak yang jelas
dari sejak dikumandangkannya kemerdekaan. Ki Hajar dewan tara sebagai penggasa
dan tokoh pendidikan Indonesia setidaknya telah menunjukan arah gerak
pendidikan Indonesia yang lebih humanisai. Namun sebaliknya pendidikan modern
(yang kadang sering dibenturkan dengan pendidikan tradisional) justru belum
menemukan kemanakan akan dibawa?
Modernisasi dan
robotisasi pendidikan telah berhasil "memanjakan" manusia di abad
modern, tanpa terkecuali pelaksana pendidikan. Robotisasi telah mendorong
manusia sebagai makluk yang mati dan tidak dinamis (terlebih bersusah payah). Untuk
mencapai keinginannya manusia cukup memijit tombol, menginput data atau
mengintruksikan robot sesuai kehendaknya, tanpa harus bersusah payah. Latensi robotisasi terasa tidak hanya dalam
bentuk materi (mesin-mesin, peralatan dan media) tapi juga ikut membangun
kultur dan cara berpikir yang statis. Di satu sisi robotisasi memang memberikan
dampak dan efek kemudahan bagi manusia, akan tetapi di sisi lain sebagai latensi
robotik telah berkontribusi terhadap cara pandang dan sikap manusia modern.
Dalam konteks
pendidikan, robotisasi media pembelajaran dipandang suatu inovasi yang sangat
luar biasa. Akan tetapi robotisasi dalam model dan arah pendidikan sepertinya
hanya akan mematikan manusia sebagai insan dan basyar.
Pengaruh dari robotisasi dalam model pendidikan telah melahirkan anak-anak
didik yang jauh dari hakikat/ karakternya. Mereka tidak lagi mampu mengimbangi
perubahan hidupnya karena potensi unsuniyyah-nya telah mati. Mereka
tidak lagi mampu merespon tuntutan zamannnya karena potensi basyariyyah-nya
telah terkubur. Mereka tidak lagi mampu menjawab dan memecahkan persoalan
hidupnya secara arif dan bijaksana karena dasar-dasar fitrahnya telah
tergantikan oleh tombol-tombol intruksi yang ia dapatkan di sekolah. Sehingga
potensinya tidak lagi berkembang dalam merespon kehidupan mereka yang baru. Pada
akhirnya mereka hanya menjadi korban-korban peradaban dan modernisasi yang
sesungguhnya ia sudah jauh dari karakternya sebagai insan. Demoralisasi
kehidupan yang belakangan ini cukup memprihatinkan kita sebagai side effect
dari pendidikan yang robotis. Harmonisasi kehidupan semakin tercerabut dari
jati dirinya, manusia semakin keras dan beringas, bertindak tanpa memikirkan
konsekwensi buruknya. Semua berperan seperti robot yang dikendalikan oleh user-nya. Bila modernisasi sebagai dalil yang mengubah
tatanan kehidupan (termasuk dunia pendidikan), ke manakah pendidikan modern itu
akan menuju?
G.
Humanisasi
Pendidikan berbasis Unsuniyyah dan Basyariyyah
Secara
etimologi humanisasi diartikan sebagai proses penumbuhan rasa prikemanusiaan
dan pemanusaain.[15]
Sedangkan Chabib Toha mengartikan "humenisme , kemanusiaan adalah
nilai-nilai objektif yang dibatasai oleh kultur tertentu, nilai kbebasan,
kemerdekaan, kebahagiaan. Persamaan hak adalah nilai-nilai kemanusiaa yang
dibangun di atas fondasi individualism dan demokrasi.[16]
Dalam
konteksnya, diskursus humanisasi tidak akan lepas dari liberasi, demokratisasi
dan individualisasi. Sebab ke empat term ini memiliki visi dan misi yang sama
yaitu eksistensi nilai-nilai manusia dalam kehidupan. Jadi humanisasi merupakan
proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan (pendidikan).
Dari upaya ini
diharpkan akan lahir individu-individu manusia yang memiliki sikap keterbukaan,
merdeka, progresif, berwaswasan luas, dinamis, responsible serta memiliki rasa
tanggung jawab sebagai fitrahnya manusia.
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa resonansi nilai-nilai insaniyyah dan basayraiah
dalam alquran harus terasa dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang humanis
dairtikan sebagai pendidikan yang dapat memfasilitasi fitrah manusia sebagai
makhluk dinamis dan responsible. Pendidikan humanis menuntut adanya pola dan
model pembelajaran yang lebih manusiawi yaitu pendidikan yang mampu mengubah
dan mendorong perubahan. Pendidikan humanis menuntut adanya upaya-upaya untuk
membangun jati dirinya sebagai albasyar yang mampu merespon dan
beradaptasi dengan persoalan hidupnya. Ujung tombak pendidikan humanis adalah
keberdayaan manusia dalam menjalani kehidupannya sesuai dengan fitrah
penciptaannya.
Proses
pendidikan yang humanis yaitu pendidikan yang membebaskan segala bentuk
dominasi atau alienasi terhadap potensi-potensi manusia. Dehumanisasi
pendidikan difahami sebagai upaya pemberlakukan manusia sebagai benda mati dan
robot, yang di dalamnya tidak ada proses pemberdayaan potensi manusia, tapi
hanya proses transfer ilmu pengetahuan.
Peserta didik diperlakukan seperti "tong kosong" yang harus diisi oleh gurunya, bukan
diperlalukan sebagai makluk yang dinamis yang membutuhkan terhadap ilmu dan
pengetahuan. Upaya-upaya membangun pendidikan yang humanis setidaknya
mengembangkan paradigm lama yang masih memenjarakan cara berpkir ummat islam
(termasuk para pelaksana pendidikan). Paradigm tersebut sebagimana diungkapkan
oleh Abdurrahman Mas'ud sebagai motive, yang antara lain: [17]
1.
Keberagamaan
yang cenderung menekankan pada hubungan vertical (transenden);
2.
Kesalehan
social cenderung terabaikan (jauh) dari ranah diskursus pendidikan;
3.
Potensi peserta
didik belum dikembangkan secara proporsional, dan belum berorientasi pada
pemberdayaan;
4.
Kemandirian
anak didik dan tanggung jawab (responsibility) masih jauh dari dunia anak dan
pendidikan.
Alquran sebagai
sumber pendidikan islam di dalamnya membawa misi liberasi (pembebasan). Salah
satu tujuan akhir pendidikan islam adalah membangun manusai yang bisa lebih
bermanfaat bagi orang lain.
Humanisasi
pendidikan dalam implentasinya dapat di terapkan pada komponen-komponen
pendidikan sebagai berikut:
1.
Guru.
Dalam
konteks humanisasi, guru bukanlah satu-satunya tokoh utama dalam proses
pembelajaran yang dapat mendominasi proses pembelajaran. Guru tidak lagi sebagai sutradara yang dengan
seenaknya membendung inisiatif, kreatifitas dan inovasi peserta didik.[18]
Tapi justru guru merupakan sarana untuk membangun potensi-potensi unsuniyyahnya
dan basayariyahnya.
pemeran
utama yang secara
2.
Metode
Dalam
konsef humanisasi pendidikan seorang guru tidak lagi memosisikan peserta didik
itu sebagai objek pendidikan, melainkan sebagai subjek pendidikan. Siswa tidak
lagi sebagai objek penderita yang hanya dimasukan informasi secara terus
menerus tanpa mempedulikan potensi dirinya. Dalam konsef humanisasi metode yang
relevan adalah metode yang didasarkan pada pendekatan komunikasi dialogis, dan
mengaktifkan seluruh komponen pembelajaran yang ada pada diri siswa. Sehingga
pada akhirnya akan terbentuk kepribadian yang PD, aktif kreatif inovatid serta
memiliki semangat untuk mengembangkan dirinya.
3.
Peserta didik
Peserta didik merupakan subjek pendidikan.
Artinya peserta didiklah yang harus diperankan sebagai pemeran utama dalam
pembelajaran. Mereka harus diberdayakan seluruh potensinya untuk aktif dalam
perolehan ilmu pengetahuan. Salah satu langkah yang dilakukan oleh guru adalah melalui
dialogis dan pemotivasian sekaligus memerankan diri sesuai dengan konsef-konsef
humanis tersesbut.
4.
Bahan Ajar
Materi pendidikan dalam kerangka humanistic
mencakup seluruh dimensi toeri dan praktek secara sekaligus. Materi tidak
sekedar berada dialam ide tapi juga harus nyata di alam realita. Selaiin itu
komposisi materi ajarpun tidak lagi sekedar materi-materi yang jauh dari
kenyataan hidup melainkan harus diambil dari sisi kehidupan anak. Sehingga ilmu
yang mereka dapatkan tidak lagi suatu pemahaman yang sudah using melainkan yang
masih segar untuk menjawab tantangan kehidupan anaknya.
5.
Evaluasi
Evaluasi pendidikan dalam pendekatan humanistic
menuntut prinsip egalitarian yaitu prinsip dimana dihadapan tuhan manusia itu
sama. Implemntasinya antara guru dan murid merupakan komponen yang sama yang
harus dievaluasi secara berbarengan. Selain itu domain evaluasi secara
komprehensif antara ranah kognitif, afektif dan spikomotorik. Ketiga ranah itu
juga tentunya dikaitkan bukan dengan persoalan-persoalan yang sudah terlewati
dan membasi, melainkan dengan persoalan-persoalan yang ada atau bahkan yang
mungkin aka nada. Dalam hal ini seorang guru dituntut untuk menantang siswa
bagaimana mampu menjawab persoalan yang ada bahkan yang akan dating dengan
pendekatan teori-teori yang sudah diberikan baik secara konseftual, sikap dan
keterampilan.
Jika aspek-aspek ini yang sudah terbangun maka
pendidikan tidak lagi sekeda mencetak robot-robot yang siap bekerja seuai
dengan input data, melainkan akan mampu bergerak sendiri secara dinamis dan
bertanggung jawab. Inilah esensi dari insaniyyah dan basyaraiyyah yang harus
dihidupkan kembali dalam dunia pendidikan. Sehingga pendidikan tidak lagi
sekedar robotisasi melainkan humanisasi.
H.
Penutup
Hakikat
pendidikan adalah pemberdayaan potensi manusia agar mampu menjawab dan meneuhi
kebutuhannya secara arif dan bertanggung jawab. Penciptaan mental manusia
seperti ini akan tercapai ketika prosesi pendidikan dijalankan dengan
pendekatan humanistik. Humanisasi pendidikan menuntut kesadaran diri kita menghidupkan
nilai-nilai yang tersembunyi dibalik kata "insan" dan "basyar".
Dilalah kedua kata tersebut merefleksikan format pendidikan yang
dinamis, penuh keharmonisan, kepekaan responsibility dan penuh tanggung jawab.***
DAFTAR
PUSTAKA
Fu’ad Abdul Baqi, Muhammad. 1992. Al-Mu’jam
al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, T.kp. : Darul Fikri .
Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan, Semarang:
UNNES Press.
Pidarta, Made Pidarta. 2007. Landasan Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Sihab,
Quraish. 1996 Wawasan Alquran. Bandung: Penerbit Mizan.
Samsul
Nizar, M.A., Filsafat Pendidikan
Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis,
Sarwoko, Bambang. 1989. Konsep Dasar
Pendidikan Luar Sekolah. Semarang, IKIP Semarang
Press.
Tirtaraharja,
Umar. 1998 Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Toha, Chabib. 1996. Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
[1] Dilalah
merupakan salah satu disiplin ilmu dalam linguistic Arab yang mengkaji tentang
cara-cara pemaknaan. Istilah lain dari ilmu dilalah adalah semantic. Secara
bahasa dilalah bisa diartikan makna.
[2] Muhammad Fu’ad
Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, (T.kp. : Darul
Fikri , 1992), hal. 153-154.
[4]
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim,
... Op. Cit., hal. 119-120
[5] Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hal. 280
[6]
Ibid.
[7] Samsul Nizar, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
... Op. Cit., hal. 5
[8] Dr. Umar
Tirtaraharja dan Drs. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta), h. 1.
[9] Dr. Umar
Tirtaraharja dan Drs. La Sulo, Pengantar Pendidikan,_____________hal 1
[10] Achmad Munib, Pengantar
Ilmu Pendidikan, (Semarang: UNNES Press, 2009), h. 29.
[11] Prof. Dr. Made
Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), h. 2.
[12] Achmad Munib, Pengantar
Ilmu Pendidikan___________, h. 30.
[13] Achmad Munib, Pengantar
Ilmu Pendidikan,___________h. 34-37.
[15] Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa,Kamus Besar Bahasa Indonesia , cet. 3, Jakarta, 1990, hlm.
192.
[18] Bambang Sarwoko, Konsep Dasar Pendidikan Luar
Sekolah, cet. I, Semarang, IKIP Semarang
Press, 1989, hlm. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar