Kamis, 22 Oktober 2015

HUMANISASI PENDIDIKAN DANQUOVADIS PENDIDIKAN MODEREN




HUMANISASI PENDIDIKAN DI ERA ROBOTIK
(Kajian Dilalâh "Insan" dan "Basyar" dan Quo vadis Pendidikan Modern)

Eman Sulaeman *

ABSTRAK

Persoalan "manusia",  merupakan suatu diskursus yang tidak pernah berhenti dari jaman klasik sampai zaman robotic (dibaca: modern). Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dan misterius. Berbagai kajian tentang manusia mulai dari hakikat sampai manfaat, mulai fisik sampai psikis, seakan tak pernah berujung. Tanpa terkecuali hubungan manusia dengan pendidikan.
Dewasa ini, perkembangan teknologi telah memebrikan pengaruh besar terhadap modernisasi pendidikan. Robotisasi pendidikan telah banyak dirasakan manfaatnya dalam media pembelajaran. Robotisai media pembelajaran telah mengantarkan kemudahan bagi para pendidik (guru) sekalipun latensinya telah  memenjarakan daya kreasi dan inovasi. Robotisasi telah berhasil mencetak manusia-manusia yang statis, yang bisa bergerak dan berubah sesuai intruksi yang sudah ditanam sebelumnya, bukan mengikuti perkembangan dan tuntutan yang berkembang. Pada akhirnya, pendidikan robotik (dibaca: modern) merupakan dehumanisasi, yang membawa manusia semakin jauh dari fitrahnya sebagai  "insan" dan "basyar". Peserta didik tidak lagi diberikan ruang gerak untuk menggali dan mengembangkan potensinya, belum lagi dari sisi informasi,  pendidikan yang hanya berkutat  masalah dan materi yang sama, berputar dan berulang tidak merespon peluang dan tantangan kehidupan yang sangat dinamis (bahkan progressive). Pada akhirnya pendidikan tidak lagi mampu memproduksi manusia-manusia yang kreatif, inovatif dan memiliki tanggung jawab, melainkan sekedar proses pembelajaran yang hanya mendaur ulang.
Wacana pendidiakan yang humanis tidak sekedar dibangun diatas tuntutan pragmatis, tapi juga perlu didukung oleh dasar-dasar pemikiran yang fundamental. Salah satu pemikiran yang fundamental tersebut adalah tentang kajian hakikat manusia sebagai "insan" dan "basyar" yang tertuang di dalam teks Alquran.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap makna "insan" dan "basyar" tidak hanya berujung pada kekaguman atas dialektika Alquran, tapi harus ditranformasikan dalam etika dan estetika kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.


Kata Kunci:
Humanisasi, Insan, Basyar, Dilalah, Semantik, Robotik



*  Penulis merupakan salah satu dosen di STAI Bunga Bangsa Cirebon sekaligus pengasuh Lembaga Bismi Fattaqun / Pusat Pengembangan Ilmu Quran (PPIQ) Bandung.

A.    Manusia dalam Alquran

A
lquran cukup gamlang mendiskusikan persoalan manusia. Sehingga dalam Alquran dapat kita temukan ragam term yang merujuk kepada manusia, seperti "al-basyar”,  "al-insan" " bani âdam”, “al-ins”, “an-nas”, “an-nafs”, “al-anfus”, dan “an-nufûs”. Term-term tersebut memiliki dilâlah[1] yang berbeda. Perbedaan itu dilihat dari konteks ayat yang menggunakan istilah-istilah tersebut. Perbedaan istilah sendiri merupakan suatu keistimewaan, bukan menunjukan adanya inkonsisntensi  atau kontradiksi bahasa Alquran. Diskursus menarik dari term-term di atas, yang ada kaitanya dengan pendidikan humanis adalah terkandung dalam kata "al-basyar" dan "Al-insan".
Pertama, kata “al-basyar’ . kata "basyar" digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.[2]  Secara bahasa "basyar" berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.  Abi Al-Husain Ibn paris ibn Zakaria dalam ‘Mu’jam AL-Muqyis fi AL-Lughoh ‘, memaparkan, semua yang huruf-hurufnya terdiri dari ba, syin, dan ra, berarti sesuatu yang tampak jelas dan biasanya indah dan cantik. sejalan dengan itu, Al-Raghib Al-Asfahani dalam kitabnya ‘Mu’jam Al-Mufrodat fi Al-Quran’, menyatakan bahwa penggunaan: kata "al-Basyar"  untuk menjelaskan manusia karena kulit manusia tampak dengan jelas. Hal yang sama juga dikemukakan Qurais Shihab dalam bukunya  ‘Wawasan Alquran [3], manusuia disebut dengan  “al-basyar’ karna kulitnya tampak dengan jelas sehingga, berbeda dengan kulit binatang yang di tutupi bulu-bulu. Secara lebih luas, Ibn manar menguraikan kata al-basyar dipakai untuk menyebut manusia, baik laki –laki maupun perempuan’ baik satu maupun banyak. Alquran menggunakan kata ”al-basyar” untuk menjelaskan sifat-sifat manusia secara biologis memiliki persamaan antara umat manusia.
Ada makna yang lebih menarik dari kata "al-basyar" yang dapat direfleksikan dengan humanisasi pendidikan yaitu pendapat yang dilontarkan Abu Hilal Al-'askariy, dalam bukunya Alfurûq fi al-lughah, beliau menyajikan pengertian yang agak berbeda bahwa yang dimaksud dengan "al-basyar" itu diambil dari kata "basyaroh" yang artinya bagian kulit muka yang selalu berubah-ubah ketika ada yang mempengaruhinya. Misalnya jika dihadapkan dengan kebahagiaan maka kulit muka itu akan kelihatan bercahaya. Jika ada rasa sedih, maka kulit muka itu  akan kelihatan redup, demikian juga ketika ada rasa marah maka kulit muka itu akan berubah menjadi merah. Benang merahnya adalah kulit muka itu menyimbolkan responsi terhadap stimulus yang datang pada dirinya. Dari pengertian ini memberikan pemahaman bahwa manusia sebagai "basyar" bisa dibentuk dan dikondisikan tergantung perubahan apa yang kita kehendaki.
Kedua, kata ”alinsan”.Kata Insan yang berasal dari kata al-Uns dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 65 kali dan tersebar dalam 43 surat.[4] Insan dapat diartikan secara etimologis adalah harmonis, lemah lembut, tampak atau pelupa.[5]
Kata insan digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raganya.[6] Kata ini dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali. Di antaranya terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 28.[7]
Kata "al-insan" juga  menurut Ibn Manar mempunyai asal tiga kata, yaitu dari kata ‘an-nas’ yang berarti melihat (absara), mengetahui (‘alima), dan meminta idzin (”ista’dzin); dari kata ‘nasia’ yang berarti lupa; dari kata ‘an-naus’ yang berarti dinamis, bergerak dan harmonis. Berbeda dari cara Ibnu manar yang berusaha menguraikan makna yang pokok menunjukan yang spesipik, ibnu zakaria mencari makna yang umum dari berbagai makna yang sefesifik. Menurutnya semua kata yang asalnya terdiri dari huruf-huruf, nun, dan ain mempunyai makna dinamis, bergerak, jinak, harmonis dan tanpak dengan jelas.
Sebenarnya dari kedua uraian tersebut memiliki inti yang sama. Manusia yang diistilahkan dengan "al-insan" dilihat dari kata ‘anasa’ tampak dirinya  mempunyai ciri khas jinak, tampak jelas kulitnya juga potensi untuk memelihara atau melanggar aturan. Selanjutnya dapat dijelaskan, ‘al-insnan’ dilihat dari kata ‘anasa’ yang berarti melihat, mengetahui dan meminta izin, maka ia memiliki sifat-sifat potensial dan aktual untuk berpikir dan benar. Dengan berfikir, manusia dapat mengetahui yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta menjauhi yang salah dan buruk, pada giliranya, ia akan menampilkan sikap meminta izin kepada orang lain untuk mempergunakan sesuatu yang bukan hakny  dan miliknya. Sedangkan ‘al-insan’ dari sudut asal kata ‘nasia’  yang berarti lupa, menunjukan  manusia mempunyai potensi untuk lupa. "Al-insan" dari sudut kata ‘an-nas’ atau ‘anasa’ yang berarti jinak, maka manusia adalah mahluk yang jinak, ramah, serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
            Subtansi dari kata "al-insan" sesungguhnya menunjukan bahwa manusia memiliki potensi besar untuk beradaptasi dan berubah mengikuti dan menyesuaikan dengan problem dan tuntutan kehidupan yang dihadapinya.


Hakikat Manusia Dan Pendidikan
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu  peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.
Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan,  jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Pemahaman pendidik terhadap sikap hakikat manusia akan membentuk peta tentang karateristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberi acuan bagi pendidik dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi didalam interaksi edukatif.
Gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya pengembangan sains dan teknologi yang pesat. Oleh karena itu, adalah sangat strategis jika pembahasan tentang hakikat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian tentang pendidikan.[8]
Hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karateristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan. Wujud sifat hakikat manusia dengan maksud menjadi masukan dalam membanahi konsep pendidikan, yaitu:[9]
a)      Kemampuan menyadari diri
b)      Kemampuan bereksistensi
c)      Pemilikan kata hati
d)     Moral
e)      Kemampuan bertanggung jawab
f)       Rasa kebebasan
g)      Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
h)      Kemampuan menghayati kebahagiaan.
Hakikat pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Kegiatan tersebut kita laksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai. Maka dalam pelaksanaanya,  kegiatan tadi harus berjalan secara serempak dan terpadu, berkelanjutan, serta serasi dengan perkembangan anak didik serta lingkungan hidupnya dan berlangsung seumur hidup.[10]
Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai pada perkembangan iman, semuanya ditangani oleh pendidik. Berarti pendidikan bermaksud membuat manusia lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiyah menjadi berbudaya. Mendidik adalah membudayakan manusia.[11]


B.     Hubungan Hakikat Manusia Dan Pendidikan
1.      Dalil-dalil Manusia perlu Pendidikan
Setidaknya, ada 3 dalil / alas an mengapa manusia membutuhkan pendidikan: Pertama, manusia sebagai makhluk yang belum selesai, artinya manusia harus merencanakan, berbuat, dan menjadi. Dengan demikian setiap saat manusia dapat menjadi lebih atau kurang dari keadaanya. Contoh manusia belum selesai: manusia lahir dalam keadaaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain dan selain itu manusia harus mengejar masa depan untuk mencapai tujuannya. Kedua, tugas dan tujuan manusia adalah menjadi manusia, yaitu aspek potensi untuk menjadi apa dan siapa, merupakan tugas yang harus diwujudkan oleh setiap orang. Ketiga, perkembangan manusia bersifat terbuka, yaitu manusia mungkin berkembang sesuai dengan kodratnya dan martabat kemanusiaanya, sebaliknya mungkin pula berkembang ke arah yang kurang sesuai. Contoh: manusia memiliki kesempatan memperoleh kepandaian, sehat jasmani rohani, tata krama yang baik, tujuan hidupnya.

2.     Dalil-dalail Manusia Mungkin Dididik dan Dilatih
Ada lima asas antropologi yang mendasari kesimpulan bahwa manusia sangat mungkin dididik atau dapat dididik. Pertama azas Potensial, yaitu manusia akan dapat didik karena memiliki potensi untuk dapat menjadi manusia. Kedua azas Dinamika, yaitu manusia selalu menginginkan dan mengejar segala yang lebih dari apa yang telah dicapainya. Ketiga Azas Individualitas, yaitu manusia sebagai mahluk individu tidak akan pasif, melainkan bebas dan aktif berupaya untuk mewujudkan dirinya. Keempat Azas Sosialitas, yaitu manusia butuh bergaul dengan orang lain. Kelima yaitu azas Moralitas, yaitu manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak .

C.    Konsep Dasar Pendidikan
Ada beberapa konsepsi dasar pendidikan yang akan dilaksanakan yaitu:
1.            Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup.
2.            Bahwa bertanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
3.            Pendidikan merupakan suatu keharusan, karena dengan pendidikan manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang.[12]

D.    Sifat-sifat Ilmu Pendidikan
1)      Ilmu Pendidikan Bersifat Deskriptif-Normatif
Ilmu pendidikan itu selalu berhubungan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan tentang siapakah manusia biasanya termasuk dalam bidang filsafat, yaitu bersifat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bangsa yang melaksanakan pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi itu dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingi dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai ini tidak diperoleh hanya dari paktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara normatif bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat, dan pandangan hidup, bahkan juga dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang.
2)      Ilmu Pendidikan Bersifat Teoritis dan Praktis-Pragmatis
Pada umumnya ilmu mendidik tidak hanya mencari pengetahuan deskriptif tentang objek pendidikan, melainkan ingin juga mengetahui bagaimana cara sebaiknya untuk berfaedahterhadap objek didiknya.[13]



E.     Tujuan Pendidikan
            Tujuan pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia yaitu:
1.       Hubungan dengan Tuhan Ialah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.       Pembentukan pribadi mencakup budi pekerti yang luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tanggug, cerdas, dan kreatif.
3.       Bidang usaha mencakup keterampilan, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung  jawab, dan produktif.
4.       Kesehatan yang mencakup kesehatan jasmani dan rohani.
   Keempat kelompok ini sudah mencakup keseluruhan perkembangan dan pertumbuhan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Setiap orang normal membutuhkan pembentukan diri, baik dari segi kepribadian, kesehatan, maupun kemampuan mempertahankan hidup dan tanggung jawabnya kepada Tuhan Ynag Maha Esa sebagai pencipta. Pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang baik, manusia-manusia yang lebih berbudaya, manusia yang memiliki kepribadian yang baik.[14][9]


F.     Quo vadis Pendidikan Moderen / Era Robotik
Secara konseftual, pendidikan di Indonesia memang telah memiliki arah gerak yang jelas dari sejak dikumandangkannya kemerdekaan. Ki Hajar dewan tara sebagai penggasa dan tokoh pendidikan Indonesia setidaknya telah menunjukan arah gerak pendidikan Indonesia yang lebih humanisai. Namun sebaliknya pendidikan modern (yang kadang sering dibenturkan dengan pendidikan tradisional) justru belum menemukan kemanakan akan dibawa?
Modernisasi dan robotisasi pendidikan telah berhasil "memanjakan" manusia di abad modern, tanpa terkecuali pelaksana pendidikan. Robotisasi telah mendorong manusia sebagai makluk yang mati dan tidak dinamis (terlebih bersusah payah). Untuk mencapai keinginannya manusia cukup memijit tombol, menginput data atau mengintruksikan robot sesuai kehendaknya, tanpa harus bersusah payah.  Latensi robotisasi terasa tidak hanya dalam bentuk materi (mesin-mesin, peralatan dan media) tapi juga ikut membangun kultur dan cara berpikir yang statis. Di satu sisi robotisasi memang memberikan dampak dan efek kemudahan bagi manusia, akan tetapi di sisi lain sebagai latensi robotik telah berkontribusi terhadap cara pandang dan sikap manusia modern.
Dalam konteks pendidikan, robotisasi media pembelajaran dipandang suatu inovasi yang sangat luar biasa. Akan tetapi robotisasi dalam model dan arah pendidikan sepertinya hanya akan   mematikan manusia sebagai insan dan basyar. Pengaruh dari robotisasi dalam model pendidikan telah melahirkan anak-anak didik yang jauh dari hakikat/ karakternya. Mereka tidak lagi mampu mengimbangi perubahan hidupnya karena potensi unsuniyyah-nya telah mati. Mereka tidak lagi mampu merespon tuntutan zamannnya karena potensi basyariyyah-nya telah terkubur. Mereka tidak lagi mampu menjawab dan memecahkan persoalan hidupnya secara arif dan bijaksana karena dasar-dasar fitrahnya telah tergantikan oleh tombol-tombol intruksi yang ia dapatkan di sekolah. Sehingga potensinya tidak lagi berkembang dalam merespon kehidupan mereka yang baru. Pada akhirnya mereka hanya menjadi korban-korban peradaban dan modernisasi yang sesungguhnya ia sudah jauh dari karakternya sebagai insan. Demoralisasi kehidupan yang belakangan ini cukup memprihatinkan kita sebagai side effect dari pendidikan yang robotis. Harmonisasi kehidupan semakin tercerabut dari jati dirinya, manusia semakin keras dan beringas, bertindak tanpa memikirkan konsekwensi buruknya. Semua berperan seperti robot yang dikendalikan oleh user-nya.  Bila modernisasi sebagai dalil yang mengubah tatanan kehidupan (termasuk dunia pendidikan), ke manakah pendidikan modern itu akan menuju?

G.    Humanisasi Pendidikan berbasis Unsuniyyah dan Basyariyyah
Secara etimologi humanisasi diartikan sebagai proses penumbuhan rasa prikemanusiaan dan pemanusaain.[15] Sedangkan Chabib Toha mengartikan "humenisme , kemanusiaan adalah nilai-nilai objektif yang dibatasai oleh kultur tertentu, nilai kbebasan, kemerdekaan, kebahagiaan. Persamaan hak adalah nilai-nilai kemanusiaa yang dibangun di atas fondasi individualism dan demokrasi.[16]
Dalam konteksnya, diskursus humanisasi tidak akan lepas dari liberasi, demokratisasi dan individualisasi. Sebab ke empat term ini memiliki visi dan misi yang sama yaitu eksistensi nilai-nilai manusia dalam kehidupan. Jadi humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan (pendidikan).
Dari upaya ini diharpkan akan lahir individu-individu manusia yang memiliki sikap keterbukaan, merdeka, progresif, berwaswasan luas, dinamis, responsible serta memiliki rasa tanggung jawab sebagai fitrahnya manusia.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa resonansi nilai-nilai insaniyyah dan basayraiah dalam alquran harus terasa dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang humanis dairtikan sebagai pendidikan yang dapat memfasilitasi fitrah manusia sebagai makhluk dinamis dan responsible.  Pendidikan humanis menuntut adanya pola dan model pembelajaran yang lebih manusiawi yaitu pendidikan yang mampu mengubah dan mendorong perubahan. Pendidikan humanis menuntut adanya upaya-upaya untuk membangun jati dirinya sebagai albasyar yang mampu merespon dan beradaptasi dengan persoalan hidupnya. Ujung tombak pendidikan humanis adalah keberdayaan manusia dalam menjalani kehidupannya sesuai dengan fitrah penciptaannya.
Proses pendidikan yang humanis yaitu pendidikan yang membebaskan segala bentuk dominasi atau alienasi terhadap potensi-potensi manusia. Dehumanisasi pendidikan difahami sebagai upaya pemberlakukan manusia sebagai benda mati dan robot, yang di dalamnya tidak ada proses pemberdayaan potensi manusia, tapi hanya proses transfer ilmu pengetahuan.   Peserta didik diperlakukan seperti "tong kosong"  yang harus diisi oleh gurunya, bukan diperlalukan sebagai makluk yang dinamis yang membutuhkan terhadap ilmu dan pengetahuan. Upaya-upaya membangun pendidikan yang humanis setidaknya mengembangkan paradigm lama yang masih memenjarakan cara berpkir ummat islam (termasuk para pelaksana pendidikan). Paradigm tersebut sebagimana diungkapkan oleh Abdurrahman Mas'ud sebagai motive, yang antara lain: [17]
1.    Keberagamaan yang cenderung menekankan pada hubungan vertical (transenden);
2.    Kesalehan social cenderung terabaikan (jauh) dari ranah diskursus pendidikan;
3.    Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional, dan belum berorientasi pada pemberdayaan;
4.    Kemandirian anak didik dan tanggung jawab (responsibility) masih jauh dari dunia anak dan pendidikan.
Alquran sebagai sumber pendidikan islam di dalamnya membawa misi liberasi (pembebasan). Salah satu tujuan akhir pendidikan islam adalah membangun manusai yang bisa lebih bermanfaat bagi orang lain.
Humanisasi pendidikan dalam implentasinya dapat di terapkan pada komponen-komponen pendidikan sebagai berikut:
1.      Guru.
Dalam konteks humanisasi, guru bukanlah satu-satunya tokoh utama dalam proses pembelajaran yang dapat mendominasi proses pembelajaran.  Guru tidak lagi sebagai sutradara yang dengan seenaknya membendung inisiatif, kreatifitas dan inovasi peserta didik.[18] Tapi justru guru merupakan sarana untuk membangun potensi-potensi unsuniyyahnya dan basayariyahnya.
pemeran utama yang secara

2.      Metode
Dalam konsef humanisasi pendidikan seorang guru tidak lagi memosisikan peserta didik itu sebagai objek pendidikan, melainkan sebagai subjek pendidikan. Siswa tidak lagi sebagai objek penderita yang hanya dimasukan informasi secara terus menerus tanpa mempedulikan potensi dirinya. Dalam konsef humanisasi metode yang relevan adalah metode yang didasarkan pada pendekatan komunikasi dialogis, dan mengaktifkan seluruh komponen pembelajaran yang ada pada diri siswa. Sehingga pada akhirnya akan terbentuk kepribadian yang PD, aktif kreatif inovatid serta memiliki semangat untuk mengembangkan dirinya.

3.      Peserta didik
Peserta didik merupakan subjek pendidikan. Artinya peserta didiklah yang harus diperankan sebagai pemeran utama dalam pembelajaran. Mereka harus diberdayakan seluruh potensinya untuk aktif dalam perolehan ilmu pengetahuan. Salah satu langkah yang dilakukan oleh guru adalah melalui dialogis dan pemotivasian sekaligus memerankan diri sesuai dengan konsef-konsef humanis tersesbut.

4.      Bahan Ajar
Materi pendidikan dalam kerangka humanistic mencakup seluruh dimensi toeri dan praktek secara sekaligus. Materi tidak sekedar berada dialam ide tapi juga harus nyata di alam realita. Selaiin itu komposisi materi ajarpun tidak lagi sekedar materi-materi yang jauh dari kenyataan hidup melainkan harus diambil dari sisi kehidupan anak. Sehingga ilmu yang mereka dapatkan tidak lagi suatu pemahaman yang sudah using melainkan yang masih segar untuk menjawab tantangan kehidupan anaknya.

5.      Evaluasi
Evaluasi pendidikan dalam pendekatan humanistic menuntut prinsip egalitarian yaitu prinsip dimana dihadapan tuhan manusia itu sama. Implemntasinya antara guru dan murid merupakan komponen yang sama yang harus dievaluasi secara berbarengan. Selain itu domain evaluasi secara komprehensif antara ranah kognitif, afektif dan spikomotorik. Ketiga ranah itu juga tentunya dikaitkan bukan dengan persoalan-persoalan yang sudah terlewati dan membasi, melainkan dengan persoalan-persoalan yang ada atau bahkan yang mungkin aka nada. Dalam hal ini seorang guru dituntut untuk menantang siswa bagaimana mampu menjawab persoalan yang ada bahkan yang akan dating dengan pendekatan teori-teori yang sudah diberikan baik secara konseftual, sikap dan keterampilan.
Jika aspek-aspek ini yang sudah terbangun maka pendidikan tidak lagi sekeda mencetak robot-robot yang siap bekerja seuai dengan input data, melainkan akan mampu bergerak sendiri secara dinamis dan bertanggung jawab. Inilah esensi dari insaniyyah dan basyaraiyyah yang harus dihidupkan kembali dalam dunia pendidikan. Sehingga pendidikan tidak lagi sekedar robotisasi melainkan humanisasi.

H.    Penutup
Hakikat pendidikan adalah pemberdayaan potensi manusia agar mampu menjawab dan meneuhi kebutuhannya secara arif dan bertanggung jawab. Penciptaan mental manusia seperti ini akan tercapai ketika prosesi pendidikan dijalankan dengan pendekatan humanistik. Humanisasi pendidikan menuntut kesadaran diri kita menghidupkan nilai-nilai yang tersembunyi dibalik kata "insan" dan "basyar". Dilalah kedua kata tersebut merefleksikan format pendidikan yang dinamis, penuh keharmonisan, kepekaan responsibility dan penuh tanggung jawab.***


DAFTAR PUSTAKA

 Fu’ad Abdul Baqi, Muhammad. 1992. Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, T.kp. : Darul Fikri .
Munib, Achmad. 2009.  Pengantar Ilmu Pendidikan, Semarang: UNNES Press.
Pidarta, Made Pidarta. 2007.  Landasan Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sihab, Quraish. 1996  Wawasan Alquran. Bandung: Penerbit Mizan.
Samsul Nizar, M.A.,  Filsafat Pendidikan Islam,  Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
Sarwoko, Bambang. 1989. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Semarang, IKIP  Semarang Press.
Tirtaraharja, Umar. 1998 Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Toha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.


[1] Dilalah merupakan salah satu disiplin ilmu dalam linguistic Arab yang mengkaji tentang cara-cara pemaknaan. Istilah lain dari ilmu dilalah adalah semantic. Secara bahasa dilalah bisa diartikan makna.
[2] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, (T.kp. : Darul Fikri , 1992), hal. 153-154.
[3] Quraish Sihab, Wawasan Alquran (Bandung: Penerbit Mizan,1996), hal. 278.
[4] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, ... Op. Cit., hal. 119-120
[5] Quraish Shihab,  Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hal. 280
[6] Ibid.                                              
[7]  Samsul Nizar, M.A.,  Filsafat Pendidikan Islam,  Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, ... Op. Cit., hal. 5
[8] Dr. Umar Tirtaraharja dan Drs. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), h. 1.
[9] Dr. Umar Tirtaraharja dan Drs. La Sulo, Pengantar Pendidikan,_____________hal 1
[10] Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Semarang: UNNES Press, 2009), h. 29.
[11] Prof. Dr. Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), h. 2.
[12] Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan___________, h. 30.
[13] Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan,___________h. 34-37.
[14][9] Prof. Dr. Made Pidarta, Landasan Kependidikan, ________, h. 12.
[15] Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Kamus Besar Bahasa Indonesia , cet. 3, Jakarta, 1990, hlm. 192.
[16] Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm.27.

[17] Abdurrahman Mas’ud, op.cit ., hlm. 144-153
[18] Bambang Sarwoko, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, cet. I, Semarang, IKIP  Semarang Press, 1989, hlm. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar